Sekretariat DPC PERMAHI Palembang : Jln. Jendral Sudirman Lrg. Karet No. 2 Lantai II Kelurahan 24 Ilir, Bukit Kecil, Palembang - Sumatera Selatan.
Selamat Datang di Blog Resmi DPC PERMAHI Palembang

Rabu, 06 April 2011

Dokumen Elektronik menurut Hukum Positif Indonesia

*Oleh Bhimo Ariwibowo

Lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan sebuah kelegaan masyarakat akan payung hukum atas legalitas transaksi elektronik. Salah satu permasalahan yang muncul didalam transaksi elektronik  menyangkut keabsahan alat bukti dalam persidangan.

Didalam prakteknya, transaksi elektronik merupakan sebuah perjanjian didalam ranah hukum perdata. Namun hal ini berbeda dengan sebuah konsep perjanjian konvensional dimana pihak dapat melakukan suatu perjanjian dengan bertemu secara langsung. Didalam transaksi elektronik, umumnya kegiatan transaksi dilakukan melalui media elektronik seperti perangkat komputer yang disambungkan dengan akses internet ataupun akses telepon dan transfer dananya pun dilakukan secara elektronik dengan menggunakan transfer dana via ATM.

Masih melekatnya adagium "ALAT BUKTI YANG SAH DALAM HUKUM PERDATA ADALAH ALAT BUKTI TERTULIS" membuat sebuah fenomena bola salju yang menggelinding tanpa ada muara yang jelas dalam suatu tataran hukum acara khususnya hukum acara perdata dalam kasus transaksi elektronik. Didalam transaksi elektronik alat bukti yang adapun berupa elektronik seperti email. Muncul sebuah permasalahan apakah alat bukti elektronik berupa dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah secara hukum?

Pengakuan keberadaan dokumen elektronik sebenarnya telah ada sebelum lahirnya UU No.11 Tahun 2008, yaitu pengaturannya didalam UU No.8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Dalam pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan  menebutkan dokumen perusahaan adalah data, catatan, dan/atau keterangan yang dibuat dan/atau diterima perusahaan dalam rangka kegiatannya baik tertulis diatas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam corak apapun yang dapat dilihat dan didengar. Didalam pasal tersebut adanya sebuah pembaharuan hokum khususnya perihal pembuktian dimana tidak selamanya alat tertulis dapat dijadikan alat bukti namun juga adanya suatu ruang pembuktian menggunakan alat bukti elektronik.

Didalam bagian konsederan menimbang pada huruf f dikatakan bahwa kemajuan tekhnologi telah memungkinkan adanya catatan atau dokumen yang dibuat diatas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik. Dengan adanya undang-undang ini maka tidaklah dapat ditolaknya dokumen elektronik sebagai sebuah alat bukti.

Selain diatur didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi sebuah pengakuan yang pasti akan sebuah keberadaan dokumen elektronik dalam kegiatan transaksi elektronik. Menurut UU ITE, yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan pengertian informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan menurut Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, alat-alat bukti yang sah terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, alat bukti menurut hukum acara di atas yang dibuat dalam bentuk informasi elektronik/dokumen elektronik, dan informasi elektronik/dokumen elektronik itu sendiri, merupakan alat bukti yang sah menurut UU ITE.

Penguatan akan dokumen elektronik merupakan alat bukti yang sah terdapat dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang 2008 menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Hal ini dikuatkan lagi didalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Namun didalam pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat pembatasan perihal informasi dan/atau dokumen elektronik yang tidak berlaku sebagaimana termuat didalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, berupa :
  •  surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
  • Surat beserta dokumen yang menurut UU harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Al-Quran & Tafsir